Selasa, 05 September 2017

Pulau Oar: Pusara Karang di Atas Pasir Putih (Catatan Perjalanan)


Hanya butuh waktu lima jam perjalanan darat untuk sampai di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten, tempat sandar kapal yang akan membawa kami ke Pulau Oar, dari Kota Depok. Namun untuk perjalanan pulang? Itu lain cerita.

Kami berlima sudah merencanakan untuk camping di Pulau Oar sekitar seminggu sebelumnya. Informasi yang berhasil kami himpun dari catatan perjalanan orang-orang  ke pulau tersebut di internet yaitu: kita bisa buka tenda di sana, tidak ada penduduk tinggal di Pulau Oar karena pulau tersebut sangat kecil, waktu menyeberang dari Sumur ke Pulau Oar hanya membutuhkan waktu 15 menit dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa kapal PP sebesar Rp 500.000. Dari informasi tersebut terdapat satu kekurangan yang cukup menjadi masalah kami, yaitu catatan perjalanan yang paling baru dibuat Bulan Oktober 2016, sudah hampir setahun lalu dan video-video blog yang tersedia di Youtube hanya berdurasi singkat. Jaman sekarang dimana jalan-jalan sudah menjadi seperti kebutuhan primer keempat para manusia ibukota, catatan perjalanan khusus tentang Pulau Oar baik dalam bentuk tulisan atau video blog, sepertinya masih sedikit dibuat oleh orang-orang. Bukan apa-apa, kami khawatir kalau informasi tersebut sudah tidak valid lagi dan sesampainya disana ternyata pulau tersebut sudah tidak boleh untuk camping (pernah terjadi pada Pulau Perak, Kep. Seribu) atau biaya untuk menyewa kapal sudah naik gara-gara Pilkada Banten, hampir setahun men!

Kami bisa dibilang sudah cukup sering menyambangi pulau atau pantai di akhir pekan untuk sekedar camping sejak tiga tahun lalu. Kebanyakan memang di Kepulauan Seribu, seperti Pulau Perak, Dolpin, Sepa, dan Pari. Maka dari itu, saat kami sudah mulai rindu untuk 'bercumbu' kembali dengan pasir pantai dan kebetulan menemukan Pulau Oar, kami tidak perlu berpikir lama untuk segera berangkat ke sana jika dan hanya jika kami tidak punya kendala dengan masalah keuangan, wqwqwqwq. Masalahnya adalah biaya untuk sewa kapal yaitu sebesar Rp 500.000 dan perjalanan kapal hanya membutuhkan waktu 15 menit. Pengalaman kami untuk ke pulau-pulau kecil di Kep. Seribu membutuhkan biaya Rp 600.000 dan perjalanan kapal membutuhkan waktu hingga 45 menit dari pulau Harapan di Kep. Seribu. Yang menjadi pertanyaan kami kenapa sampai bisa semahal itu untuk menyebrang ke Pulau Oar? Dari dua catatan perjalanan yang kami baca, memang ada yang menyebutkan biayanya sebesar Rp 300.000 dan Rp 500.000, mereka juga menambahkan catatan untuk pintar-pintar menawar kepada pemilik kapal/calo. Maka dari itu untuk meminimalisasi pengeluaran, kami selalu berusaha memaksimalkan anggota kelompok. Hitung-hitungan kami jika biaya kapal mentok-mentoknya Rp 500.000, ijin untuk buka tenda Rp 25.000/orang = Rp 125.000, ditambah belanja bahan makanan selama di pulau Rp 100.000, dan bensin + tol Rp 300.000, maka kasarnya anggaran untuk lima orang yaitu sekitar Rp 205.000.



Tidak berhasil mendapatkan anggota lain untuk ikut dalam perjalan ini, kami tetap berangkat berlima dengan menggunakan mobil salah satu anggota kelompok. Bermodal google maps dan insting binatang, kami berangkat dari Kota Depok pukul 3.00 pagi dan sampai di Kec. Sumur, Pandeglang pukul 08.30 sudah termasuk sarapan nasi uduk di jalan dan istirahat kencing. Untuk yang tidak punya insting binatang, modal google maps juga sebenarnya sudah cukup. Atau singkatnya bagi yang menggunakan kendaraan pribadi dari Jakarta dan sekitarnya bisa kami jelaskan : 

1. Masuk jalan tol Jakarta - Tangerang
2. Keluar di pintu tol Serang Timur
3. Dari sini tinggal ikutin marka jalan menuju Pandeglang / Labuan atau bisa juga cari penunjuk arah menuju Pantai Tanjung Lesung. Menuju Pulau Oar juga melewati rute menuju Pantai Tanjung Lesung namun lebih jauh lagi.
4. Sisanya tinggal ikuti marka jalan menuju Sumur / tanya orang pinggir jalan untuk arah menuju Kecamatan Sumur, Pandeglang. Mudah, kok.

Di akhir perjalanan kami, Pak Endang, semacam orang yang mengurusi perjalanan kapal kami, juga memberitahu cara ke Sumur dengan menggunakan kendaraan umum. Bisa Naik kereta dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Rangkas Bitung kemudian bisa dijemput dengan menggunakan Elf (satu Elf maksimal 12 orang) dengan biaya Rp 100.000 PP. Tentunya harus sudah janjian terlebih dahulu dengan Pak Endang. Sepanjang perjalanan juga banyak Terminal Bis yang kami lihat, sepertinya bisa juga menggunakan bis dari Terminal Kali Deres.



Sampai di Sumur kami beristirahat sejenak di satu warung dan bertemu dengan Pak Endang, ia menawarkan biaya kapal PP sebesar Rp 200.000 dengan kapasitas maksimal 10 - 12 orang. Di situ kami merasa senang dan menang karena ternyata harga kapalnya jauh lebih murah dari yang kami baca di internet. Namun setelah itu ia menambahkan bahwa ada biaya lain sebesar Rp 200.000 untuk administrasi di Pulau Oar dan biaya menginap/camping Rp 20.000/orang dan bisa snorkling dengan menambah Rp 50.000/orang. Dari penjelasan Pak Endang bahwa Pulau Oar merupakan pulau milik perusahaan swasta yang juga menguasai Pulau Umang, sebuah pulau resort di samping Pulau Umang. Mereka yang menginap di Pulau Umang akan mendapatkan fasilitas bisa bermain dan snorkling di Pulau Oar, karena di Pulau Umang tidak ada pasir putih seperti di Pulau Oar. Ternyata Rp 200.000 tersebut untuk membayar ke pengurus Pulau Umang, untuk Rp 20.000/orang entah kemana uang tersebut mengalir. Dengan segala jurus tawar-menawar dan pertimbangan keuangan, maka kami setuju dengan tawaran dari Pak Endang, tetapi tanpa snorkling karena kami semua bawa kaca mata renang dan satu masker dan snorkel, hwehwehwehwe. Sebelum berangkat kami memesan nasi bungkus + telor ceplok seharga Rp 10.000/bungkus untuk makan siang kami nanti di pulau dan Nasi bungkus doang Rp 5.000/bungkus untuk makan malam. Btw, Pulau Oar benar-benar sudah terlihat dari warung kita nunggu tadi.

Setelah sekitar 15 menit kami sampai di Pulau Oar dan benar saja, walaupun tidak begitu jauh jaraknya dengan dermaga jadi-jadian tadi tetapi perbedaan warna air lautnya bukan main, aduhai. Kalau di Kepulauan Seribu, laut sebagus ini harus ditempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam dari Dermaga Kali Adem/Muara Angke. Kalau cuma 15 menit dari Angke mungkin masih ketemu bungkus pilus dan tumpahan solar. Gradasi warna biru dari bibir pantai sampai pantai jauh benar-benar menenangkan mata kami. Pasir pantai berwarna putih juga langsung menyambut kami. Ingin rasanya langsung melepas semua pakaian yang menempel di tubuh ini dan berlari dengan senyum lebar ke laut. Tapi berhubung mesti buka tenda dulu, ya kami urung lakukan hal tadi. Setelah nemu spot untuk buka tenda, kemudian kami bersantai di depan tenda sembari main gitar. Kami menunggu tepat pukul 12.00 untuk main air biar tanda liburan kita di kulit maksimal, wqwqwqwq. Setelah jam 12.00 kemudian kami langsung nyebur ke laut yang jernihnya amboi sekali, laut dangkalnya cukup luas buat renang-renang santai. Saran kami kalo memang punya kacamata renang atau masker dan snorkel mending dibawa aja, sudah cukup, kok, toh kami juga snorkling jadi-jadian di spot snorkling mereka yang ambil paket snorkling, nggak jauh dari pantai, masih dangkal, jadi masih aman. Tempat snorkling disana ga terlalu banyak ikan, kalo pun ada memang ikannya lumayan gede, sih, tapi itupun udah deket laut yang warnanya biru banget ga keliatan dasarnya.



Tidak ada terumbu karang di tempat kami snorkling jadi-jadian, arus lautnya juga lumayan kenceng. Ternyata terumbu karangnya pindah semua ke pantai, jadi di atas pasir putih yang alus sealusnya alus itu bertebaran semua bentuk terumbu karang yang udah jadi batu dari ukuran yang gede sampai kecil. Lumayan menyiksa kaki kalau lari di pantainya. Kalau dilihat dari jumlah terumbu karang yang udah jadi batu itu di pantai, sepertinya asumsi kami laut dangkalnya dulu isinya terumbu karang semua dan gara-gara sauh kapal dan juga arus laut yang kenceng semuanya patah dan kesapu ke pantai. Asumsi kami sih begitu. Benar-benar terlihat seperti kuburan terumbu karang di pantainya itu, walaupun ada beberapa daerah yang masih bersih juga pasirnya.

Oiya di Pulau Oar ada beberapa gazebo yang disiapkan untuk tamu dari Pulau Umang yang main ke Pulau Oar, kalau kami mau pakai gazebonya, kami harus bayar lagi ke satu penjaga pulau Oar dari Pulau Umang yang cuma jaga sampai magrib doang abis itu ngilang. Jadi dia nggak benar-benar penjaga pulau Oar. Heran.

Malam hari disana anginnya cukup kencang dan benar-benar semalaman anginnya ga berhenti-henti. Saran untuk yang buka tenda di sana, lebih baik tempatnya agak ke dalam pulau karena kalo agak di pinggir pantai anginnya nggak karuan.



Besoknya kami dijemput pukul 10.00 pagi dan dekat warung yang kemarin ada kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum kembali ke rumah. Sebelum balik Pak Endang cerita bahwa selama ini penjaga di Pulau Oar itu memang tidak benar-benar menjaga pulau itu baik kebersihannya maupun ikut menginap di pulau Oar. Pak Endang bilang ia pernah ngomong ke penjaganya kalo memang seperti itu, ia tidak akan membayar Rp 200.000 yang katanya biaya administrasi untuk pengurus Pulau Umang. Kemudian voila! Pak Endang bilang ke kami kalau kami kesini lagi, kami tidak perlu membayar biaya administrasi Rp 200.000 tersebut, cukup biaya kapal dan biaya menginap per orang saja. Semacam dapat voucher untuk kedatangan kedua, agak aneh sih kami mendengarnya.

Begitu catatan perjalanan kami camping di Pulau Oar, mudah-mudahan bisa berguna untuk kalian yang ingin kesana. Kalau kalian ikut open trip ke Pulau Peucang kayanya udah ada paket mampir ke Pulau Oar, deh. Tapi kalo cuma mau ke Pulau Oar saja, ya mungkin seperti ini caranya. Oh iya, overall pulaunya bagus untuk bersantai, walaupun banyak karang matinya tapi kalau sudah liat pasir putih dan warna biru lautnya pasti sangat menenangkan dan menentramkan jiwa dan raga. Jangan lupa kalau kesana kalau bisa bawa yang terkasih juga, biar nggak demek. Semoga bermanfaat.

Jumat, 16 Desember 2016

Tampilan Utama

Waktu Indonesia Bagian Pulau Dolphin
Bule gila. Tiga. Dua bule. Satu serumpun. Tiga-tiganya gila. Berangkat. Muara Angke. Sepasang penumpang. Arah jam sembilan atau tiga. Lelaki dan perempuan. Si perempuan pakai cincin. Jari manis tangan kiri. Kecewa. Menuju pulau berdua. Asik yak. Kalau dipikir-pikir. Anti mabuk. Mengobrol di geladak. Bertukar bahasa. Kata sanggama. Seorang teman. Tertangkap mata. Sedang melirik. Beberapa kali. Oleh siapa? Si perempuan pemakai cincin. Pulau Harapan. Mencari bahan makanan. Mencari air. Air steril. Tentunya. Mengarus lagi. Menyelam. Menyaksikan. Terumbu karang. Belum banyak ikan. Titik henti kedua. Menyelam lagi. Menyaksikan. Terumbu karang. Lumayan banyak ikan. Ikan-ikan kecil laut atas. Kapal mulai mengarus lagi. Seorang teman. Belum sempat naik. Ada seruan. Untuk berenang sampai titik henti selanjutnya. Tidak jauh. Katanya. Tidak berkenan. Berenang menuju kapal. Tidak mendekat. Terdorong balik arus air. Arus hasil laju kapal. Kapal makin jauh. Panik. Terasa mau tenggelam. Mungkin karena panik. Temannya di kapal. Terjun ke laut. Menghampiri si panik. Si teman menyelamatkan hidup si panik. Padahal. Si teman tanpa rompi pelampung. Si panik dengan rompi pelampung. Si teman menyeret si panik. Berenang. Menuju titik henti selanjutnya. Berenang. Menyaksikan. Tidak ada terumbu karang. Tidak ada ikan. Gelap. Lingkaran gelap. Air biru mengelilingi lingkaran gelap. Bertemu dengan kapal. Mengarus lagi. Tidak lupa naik kapal. Tentunya. Pulau Gosong. Seorang bule. Memegang pelepah kelapa. Entah dari mana. Dipukul-pukulkan. Ke pasir. Sambil agak berlari. Berkata. GET OUT OF MY LAND! Berkali-kali. Mengarus lagi. Pulau Dolphin.
Bule gila. Tiga. Dua bule. Satu serumpun. Tiga-tiganya gila. Pulau Dolphin. Tidak ada. Yang lain. Hanya. Kita. Senja kala. Agak mendung. Tampaknya. Tumpukan kayu. Terkumpul. Oleh ketiga bule. Entah dari mana. Malam. Api unggun. Sepasang teman. Berbaring. Telentang. Di atas pasir. Menyadari. Bahwa.
B. I. N. T. A. N. G
T. E. R. B. E. N. T. A. N. G
T. E. R. H. A. M. P. A. R
T. E. R. B. A. B. A. R
S. E. G. E. N. A. P. []. P. E. N. J. U. R. U
L. A. N. G. I. T
AMBON. Ketiga bule gila. Ikut serta.
Pulang. Ke mana? Ke diri sendiri.

Kamis, 01 September 2016

Pergi Jauh

“Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.
Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.”

Sepenggal lirik lagu dari sebuah band dari Surabaya, Silampukau yang berjudul Sambat Omah, atau bila ingin diartikan dalam Bahasa Indonesia, artinya kurang lebih “mengeluh tentang rumah”. Sebuah lagu yang menceritakan tentang kerinduan  tentang kampung halaman yang baru penulis temukan beberapa minggu sebelum tulisan ini dibuat. Sampai pada lirik “demi Tuhan atau demi setan, aku ingin cepat pulang”, sang penyair lagu akhirnya menggambarkan bahwa ia akan melakukan apa saja untuk bisa segera kembali ke rumah.

Merantau sebenarnya merupakan hal yang lumrah untuk orang-orang yang ingin (atau harus) mencari sesuatu. Entah itu ilmu, rezeki, atau bahkan jati diri. Sesuatu yang pada awalnya menyenangkan pada tahap perencanaan karena hal-hal baru yang diekspektasikan. Meninggalkan keluarga dan orang-orang yang sudah dianggap keluarga, meninggalkan rumah di kampung halaman yang sudah dihafal betul seluk beluknya. Seperti pintu mana yang harus diangkat saat dibuka agar tidak berbunyi. Semuanya terasa baik-baik saja sampai datang waktunya kewajiban yang harus diemban oleh anak-anak muda yang segera menjelang dewasa. Dan kewajiban itu ditawarkan di tanah orang. Demi mencari apa yang harus dicari untuk melengkapi hidup yang sebenarnya tidak akan pernah lengkap

Perantauan yang berjarak 2 jam kereta api atau belasan jam ditambah beberapa kali transit pesawat terbang tidak terlalu berbeda. Selama kamar yang dipakai untuk memejamkan mata setiap malam mempunyai ikatan kontrak dan si tuan tanah selalu mengingatkan untuk dibayar tepat waktu setiap bulan, pejaman matamu tidak akan senyaman di rumahmu sendiri. Selama masih memilih apa yang ingin dimakan dan bukannya memakan apa saja yang telah ibumu masakkan,  lidah selalu bisa merasakan perbedaannya. Seperti halnya mencoba menanamkan pikiran di kepala anda bahwa tanah rantau itu sekarang harus disebut rumah, tidak akan berhasil.

Lelah dan rindu tentu bukan perpaduan yang baik untuk memulai hari. Perasaan yang didapat saat yang jauh dari rumah membuka mata untuk menunaikan kewajibannya, dan mereka sadar mereka tidak berada di tempat yang sama seperti waktu mereka dibangunkan di pagi hari oleh orang tuanya untuk sekolah semasa kecil. “Everything is restless until it comes home”, sebuah kutipan dari John Bate yang pernah penulis baca dan amini setiap katanya. Beristirahat  tentu saja mempunyai makna yang berbeda saat berada di rumah. Berbeda dengan sekadar merebahkan diri menyiapkan hati untuk hari esok, melakukan kegiatan yang seakan itu-itu saja, dan bertemu dengan orang-orang yang juga meninggalkan hatinya entah di mana.

Begitupun dengan yang di rumah namun hatinya dititipkan kepada yang jauh dari rumah. Yang ada di rumah tetapi tidak pulang, karena “pulang”-nya sedang jauh. Yang setiap matahari terbit mencemaskan apakah yang di sana baik-baik saja, yang harus terlebih dulu mencocokkan jam untuk melontarkan ucapan selamat pagi, atau mungkin yang sekadar ingin melakukan hal remeh yang biasa mereka lakukan saat mereka masih bisa melihat wajah masing-masing saat tertawa bersama. Keremehan yang ingin dimulai dengan ucapan “akhirnya kau pulang juga”.

Well, dengan semua kekurangan dan beberapa kelebihan di tempat rantau, kewajiban tetap harus dilaksanakan, tanggung jawab harus selalu dipenuhi. Suatu sore nanti mereka akan kembali, menyesap lagi kopi yang anda seduh. Duduk di beranda sembari mendengarkan ceritamu tentang apa saja yang mereka lewatkan. Teruslah saja berkarya dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang baik sampai waktu bertemu itu tiba.  Menunggu hanya memberatkan hati, dan menanti cuma meninggikan ekspektasi. Titipkan saja pada mereka, dan percaya saja, mereka pergi sangat jauh hanya untuk pulang kepadamu lagi.





Rabu, 24 Agustus 2016

#GRGSKRSGSTSMTR

“Gue pengen ke Sumatera! Gue pengen menginjakkan kaki di tanah pulau paling besar di sebelah barat Republik Indonesia. Dan gue nggak mau melakukannya dengan alasan formal” Setidaknya itulah yang ada di pikiran salah satu teman grgskrs kita selama beberapa tahun terakhir. Nggak cuma mau menginjakkan kaki di tanah Sumatera, tapi juga ingin membawa pulang beberapa genggam pasir pantai dari sana yang sebelumnya sudah dikotori candaan-candaan kotor kami dan sudah diterangi cahaya lilin yang menghantarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sudah sering ingin ditanyakan tapi belum sempat kami lontarkan. Belum lagi beberapa keceplosan yang bisa bikin seseorang mendengarkan “Terlanjur Sayang” satu bulan penuh tanpa bosan. Jadi gini….
               Setelah sebelumnya gagal karena alasan izin dan persiapan yang kurang baik, kali ini kami berhasil membawa kru yang banyaknya sama dengan starting line-up Madura United kalo mau tanding, yak, 11 orang yang beberapa dari mereka mungkin adalah reinkarnasi ayam juara adu kokok di kehidupan sebelumnya. Beberapa orang gagal ikut karena alasan yang bermacam-macam, kami berasumsi mereka belum siap hatinya untuk merasakan pedihnya diterangi jiwanya oleh api lilin di bawah bulan langit Sumatera. Setelah semua persiapan disiapkan, doa agar selamat di perjalanan dan agar teman-kami segera lulus dikumandangkan, berangkatlah kami pada Jumat malam, 15 Juli 2016 (yang rencananya) pukul 7 malam, tapi ya gitu.
               Perjalanan malam selalu menjadi tantangan bagi para pengemudi, tapi saking percayanya kami dengan mereka yang sepertinya sudah menenggak beberapa botol minuman energi ditambah obat sariawan oplosan sebelum berangkat, beberapa penumpang pun tertidur. Ditemani playlist yang beberapa lagu di antaranya adalah tema dari satu-dua kejadian di masa lalu untuk beberapa dari kami. Perjalanan darat-laut-darat berhasil ditempuh kurang dari 12 jam yang telah diestimasi sebelumnya. Tanah Sumatera berhasil dijajaki.
 Sesampainya di tempat tujuan, kami segera mencari pak Yanto, seorang laki-laki seperempat atau sepertiga baya yang kami temui dari hasil penjelajahan internet dan selama ini hanya kami kenal suaranya. Bertemu Pak Yanto sungguh membuat hati damai dan merasa diayomi. Bapak yang mempunyai gaya rambut berekor dipadu dengan kulitnya yang kecoklatan seakan mengatakan bahwa dia sudah hafal betul semua tikungan-tikungan di Selat Sunda. Awesome.
Ke-awesome-an bapak bertubuh gempal ini semakin menjadi di luar batas kami dapat mengagumi seseorang ketika beliau mengajak 11 orang kelelahan yang baru saja mengarungi 3 provinsi selama setengah hari dengan akses multimoda ini untuk pergi snorkeling, tepat ketika orang pertama dari kelompok kami menjabat tangan beliau dan memperkenalkan diri. Dengan diiming-imingi kopi panas dan beberapa lirik lagu Om Iwan Fals yang tak kalah panasnya, Pak Yanto berhasil merayu dan memunculkan adrenaline kami kembali ke permukaan. Baiklah kalau itu mau bapak, gas.
Setelah menyelam di beberapa spot  dangkal berair jernih dan setelah puas ngintipin terumbu karang dan anemone laut beserta ikan-ikan yang mendirikan pemukiman di sekitarnya, acara dilanjutkan dengan makan siang di Pulau Pahawang Kecil. Pulau yang lumayan sering muncul di google kalo kita ngetik “Pulau Pahawang” terus kita klik “images” itu kini jadi meja makan kami.  Makan siang dengan lauk ayam goreng yang entah semasa hidupnya mereka berdomisili di mana, yang jelas mereka dinikmati di Pulau Pahawang Kecil saat mereka sudah tidak lagi bisa berkokok. Beberapa teman kami menangis saat makan.
Saat matahari sedang tinggi-tingginya, kami menolak ajakan Pak Yanto untuk kembali menyelam, beliau pun sudah tidak terlalu persuasif seperti sebelumnya melihat kami sudah bergeletakan sembarangan setelah makan siang. Sauh kapal kayu dengan penyeimbang bambu di kedua sisinya pun diangkat dan dilayarkanlah kami ke pulau yang lain lagi untuk beristirahat di penginapan yang sudah dipesan saat kami masih berada di provinsi lain. Tanpa pikir panjang, kami tertidur, dan terbangun disambut senjanya Sumatera.
Pagi, siang, ngopi, lalu malam. Ternyata urutan ini masih berlaku sama di tanah Sumatera. Dan malam di sana tak jauh berbeda dengan malam-malam yang biasa kami lalui di pantai-pantai sebelumnya. Kenapa? Gelap? Bukan, bukan itu maksudnya.  Tapi duduk melingkari sebuah lilin, di atas pasir, di bawah langit, di sisi laut. Mendirikan majelis internal yang tugasnya melakukan kajian yang isinya 80% tentang asmara anak muda, 10% tentang pengakuan, dan sisanya tentang politik, ekonomi, dan budaya. Tapi biasanya sih yang sisa-sisa gitu nggak baik. (Pesan ini disampaikan khusus untuk seseorang)
Majelis lingkaran perasaan tersebut nggak seperti biasanya, ditemani kopi hangat yang diseduh langsung di pantai oleh salah satu teman kami. Kopinya pun spesial, karena kopi yang kami sulangkan malam itu tidak lain adalah kopi Lintong yang asalnya juga dari tanah Sumatera, tepatnya dari Tapanuli, Sumatera Utara. Kopi yang juga menemani kami menguak beberapa rahasia dan meluruskan perasaan yang selama ini mungkin disembunyikan atau belum berani diungkapkan. Satu hal lagi yang membuat perbedaan adalah hujan yang tiba-tiba turun memadamkan gejolak anak-anak muda yang kala itu sedang panas-panasnya. Kembalilah kami ke penginapan dengan agak terburu-buru, karena basah air tawar bukan tujuan kami datang ke pantai. 
               Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, urutan pagi datang setelah malam masih berlaku di tanah sini, dan pagi menjelang siang yang menandakan waktunya untuk segera pulang pun tidak lupa datang. Walaupun sebenarnya kami sedikit berharap kami lupa dengan datangnya sang waktu pulang ini, atau lebih baik sang waktu pulang yang lupa dengan kami. Siapa tau dengan itu kami bisa sedikit naik ke utara, sedikit naik lagi, sedikit lagi dan akhirnya sampai ke Sabang. Tapi sayangnya itu semua tidak terjadi. Kami harus tetap pulang. 
               Pulang, seringkali menjadi hal yang ditunggu-tunggu, tapi tidak jarang juga itu justru hal terakhir bisa diharapkan oleh seseorang. Bukan karena kami harus kembali bertemu Senin dan mencari nafkah lagi, tapi karena dengan pulang dari sini kami justru harus berpisah dengan semua yang rasanya sudah seperti rumah bagi kami.

Lagipula apa sih sebenarnya arti “rumah” itu sendiri?
Apa sesuatu yang tetap kamu setiakan walaupun ada kesempatan?
Atau hanya sekadar tempat yang dirindukan untuk pulang?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawab di perjalanan berikutnya.

Sementara nikmati saja dulu rindumu itu.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Melihat Sejarah

"..Melihat langit itu adalah melihat sejarah..."

Kata salah satu guide pada kunjungan terakhir gue ke Bosccha. Dan seketika itu juga gue takjub. Bosccha, dibaca bos-ka bukan bos-sya atau bo-sye, adalah sebuah laboratorium astronomi terbesar di Indonesia. Bertempat di daerah Lembang, Bandung,

kini tempat ini sudah menjadi kepemilikan Institut Teknologi Bandung. Dan tentu saja sekarang telah diokupansi oleh jurusan Astronomi dari almamater yang sama. Baru-baru ini gue berkesempatan untuk studi tur kesana. Yah ga studi tur sih sebenenrnya. Tur aja.

Karena kemarin gue ga cuma sekedar dateng dan foto-foto dihalamannya aja. Tapi juga turut serta dalam tur pengenalan Laboratorium Observasi Bosccha, melihat sejarah, mengikuti simulasi dan materi singkat tentang alam semesta juga ikut mengintip langit melalui teleskop-teleskop yang ada disana.

Mengunjungi dan menjelajahi Bosccha lebih jauh, lebih dalam. Seru sekali. Sekalian napak tilas film Petualangan Sherina juga sebenernya.

Pertama-tama kita akan diajak untuk mengunjungi Teleskop tersbesar yang ada di Laboratorium Observasi Bosccha bernama teleskop Zeiss (dibaca "ceis”). Teleskop ini adalah teleskop refraktor ganda yang memiliki fungsi utama untuk mengamati bintang ganda pada suatu sistem tata surya.

Memiliki dua lensa dengan masing-masing diameter 60cm, dengan berat 12 Ton dan panjang 11 meter. Teleskop ini ditopang oleh kerangka-kerangka besi dan bisa digerakan secara vertikal dan horizontal. Bintang-ganda. BINTANG-GANDA. GILA. Ga setiap hari lo denger istilah “bintang ganda”.

Tapi sayangnya pengunjung umum tidak dapat melihat teleskop ini dioperasikan, apalagi menggunakannya. Hanya para astronom dan peneliti yang boleh menggunakannya. Disini kemudian perlahan timbul penyesalan tentang mengapa dulu sewaktu kuliah tidak tertarik untuk mengambil jurusan astronomi sebagai program studi (walaupun jawabannya kepalang gampang. Karena saya dulu mengambil jurusan sosial ketika di bangku SMA. Well, dan karena nilai kimia saya yang anjlok laksana KRL).

Juga hal lain yang gue inget adalah bahwa dulu Sherina nyium Saddam disini, setelah Saddam asmanya kambuh, dan kemudian Sherina cabut lewat lobang ventilasi. Emang dasar perempuan.

Berikutnya kita diajak untuk mendengarkan presentasi tentang sejarah singkat tentang Bosccha dan simulasi tentang alam semesta. Bosccha, yang awalnya bernama Bosscha Sterrenwacht, didirikan dahulu pada tahun 1923 sampai rampung di tahun 1928 oleh. Lembang sendiri sengaja dipilih karena letaknya yang sesuai untuk pengamatan benda-benda langit karena jauh dari keramaian dan pemukiman penduduk.

Tujuannya adalah sebagai pusat penelitian keastronomian (di) Indonesia, walaupun bahkan dahulu kosakata “Indonesia” sendiri masih belum tergagas ketika Bosccha dibangun. Dan seiring dengan berjalannya waktu Laboratorium Bosccha diakuisisi oleh Indonesia kemudian jatuh ke angan ITB disekitar tahun 80an.

Kita juga diperlihatkan sebuah video yang menggambarkan komparasi tentang luasnya alam semesta. Videonya singkat, cuma lima belas menit, tapi sangat berkesan. Kita akan diajak terbang jauh meninggalkan Bumi, jauh menembuh tata surya, naik terus menembus gugus-gugus tata surya, jauh sampai ke bagian pinggiran alam semesta yang masih belum dipetakan. Dramatis banget asli. Cukup untuk membuat seorang laki-laki dewasa berkaca-kaca. Sayup-sayup gue juga denger suara sesenggukan dari Bapak yang duduk di belakang gue. Nangis kayaknya, tapi ga nangis-nangis amat sih.

Kemudian dalam bagian tur yang terakhir para peserta diberikan kesempatan untuk mengintip Mars, Jupiter dan Saturnus melalui teleskop-teleskop portabel dan Teleskop Bamberg yang bisa kita gunakan untuk meneropong.

Dan seperti yang telah diperkirakan, antusiasme para peserta untuk sekedar menjajal teleskop-teleskop tersebut sangat tinggi. Antrean di setiap teleskop sudah mengular panjang layaknya antrean di pintu tol cikampek kala musim mudik. Tua, muda semuanya turut mengantre dengan gembira namun tetap tertib. Kebetulan juga langit sedang nampak cerah jadi proses peneropongan bisa berjalan lancar.

Mars kelihatan gagah dengan warna merah-oranye dominan yang menyala dengan sangat jeli. Jupiter nampak menawan gradasi garis-garis krem-putih, begitu pula dengan mata pusaran tornadonya yang abadi. Dan seperti biasa, Saturnus tetap terlihat elegan dan magis dengan cincinya yang melingkar diagonal.

Buat gue, kunjungan ini bukannya hanya untuk menghilangkan dahaga akan pengetahuan tentang kelangitan. Tapi juga sebagai ajang untuk ziarah ke pusat astronomi terbesar di Indonesia. Juga sebagai sarana untuk selalu mengingatkan manusia bahwa kita layaknya hanya debu mikroskopik di tengah belantara semesta.

Tur sendiri selesai di sekitar pukul 8 malam waktu sekitar. Kondisi jalan udah bener-bener gelap. Langit cerah, jadi sebelum balik kita sempet nongkrong sedikit, tiduran sambil ngeliatin langit yang pelan-pelan semakin gelap, semakin dingin, semakin tersesat di antariksa.
Teleskop Zeiss. Credit: Perdana





Teleskop Bamberg. Credit: Perdana















  

Rabu, 03 Agustus 2016

Referensi Film Korea Pilihan Keluarga Volume 03 - Bagian Satu

Yogyakarta, Mei 2013
Kami sempat menghubungi teman kami di Solo bahwa kami sedang dalam perjalanan menuju ke YOGYAKARTA. Tanpa pikir panjang, ia langsung memesan tiket kereta menuju YOGYAKARTA untuk bertemu dengan kami. 

Mungkin tidak cukup waktu semalam untuk bisa membuat seseorang bisa menjadi percaya satu sama lain dalam hal apapun. Begitu juga dengan kami. Sedari di Kota Depok masih diperbolehkan untuk makan dengan tangan kiri, kami sudah mengenalnya. Bukan perkenalan formal atau ketidaksengajaan, tetapi lebih kepada hal yang tidak bisa dihindarkan. Bukan Tuhan menjegal kami dengan menghadirkannya, tetapi siapa yang tidak butuh bimbingan belajar saat Ujian Nasional Tingkat SMP mulai diperbincangkan orang tua kami. Disanalah Tuhan menjegal kami. Ada ungkapan dari Negeri Cina jaman dahulu yang berbunyi 'bila kau punya sepuluh orang istri wanita cantik, maka yang kesebelas pastilah laki-laki'. Tidak sampai ke Negeri Cina, hal itu terjadi di kelas bimbingan belajar kami. Kelas kami penuh dengan gadis - gadis tak bertuan, namun selalu ada ruang kosong yang bisa ditempati oleh 'istri kesebelas' itu. Itu yang terjadi.

Sembari menunggu orang perantauan Solo itu sampai ke YOGYAKARTA, kami mencari tempat berteduh yang nyaman untuk hati dan pikiran (re: dompet) kami di sekitaran Jalan Malioboro. Saat kami berempat berniat untuk check-in, orang dari penginapan itu mengungkapkan kebingungannya tentang kami berempat yang tidak membawa wanita satupun. Kami semua ingin sekali meladeni kebingungan orang itu. Layaknya 'dalam tiap wanita selalu ada sisi binatang', sama halnya dengan 'dalam tiap pria selalu ada sisi wanita'. Sehingga tiap tiap kami sudah membawa wanita yang orang itu bingungkan. Tiap tiap kami bahkan mengenal wanita dalam diri kami dengan baik, sampai sampai tidak bisa orang itu melihatnya pada pertemuan pertama. Orang itu tidak tahu saat kita memilih penginapannya, kami menggunakan wanita wanita dalam diri kami untuk memilih. Wanita wanita dalam diri kamilah yang membuat kamar di penginapannya menjadi terisi. Jadi, jika orang itu masih mempertanyakan dimana wanita wanita yang seharusnya atau mungkin biasanya dibawa ke penginapannya, maka biar wanita wanita dalam diri kami yang akan menjelaskan. Tetapi saat itu kami hanya tertawa ringan dan langsung menuju kamar. Pria pria dalam diri kami sudah lelah menanti kasur selama 12 jam. Tak ada waktu untuk wanita wanita dalam diri kami. Tidak akan pernah. Black Hawk Down! Band of Brother! Windtalkers!


Depok, Agustus 2016
Pernah ada dalam garis waktu kami dimana suara tembakau terbakar menjadi pemeran utama dalam malam malam di Depok. Jauh sebelum himbauan gadis tiket di Hari Senin membuat kami berlari untuk memaksa masuk, pernah ada kartu as yang menampar muka muka para pecundang di tengah malam. Jauh sebelum percaya bahwa dua foto saja sudah cukup untuk menentukan tanggal perkawinan, pernah ada kayuhan sepeda penuh gelora demi membakar Cerbera manghas. Benar adanya bahwa dulu waktu bukan menjadi penanda kami untuk berhenti atau memulai. Bahwa kami belum sepakat dengan konsep waktu sebagai penanda agar bertemu bisa dilakukan. Meski konsep waktu hanya ada dan bermakna pada dimensi dimana manusia hidup, namun persepsi kami dengan manusia belum sama. Bukan kami tidak hidup, hanya muda dan buta.


Yogyakarta, Mei 2013
Sajian teh manis hangat sebagai minuman selamat datang rasanya kurang untuk mengisi perut kosong kami, sehingga kami mencari tempat makan di sepanjang jalan Malioboro. Dengan situasi Jalan Malioboro yang sangat ramai wisatawan dan juga penjual makanan, agaknya kami cukup sulit untuk memilih penjual yang beruntung. Ditambah dengan wanita wanita yang sedaritadi melintas, makin membuat rumit kondisi pemilihan tempat makan ini. Hukum mencari makan di daerah seperti Jalan Malioboro untuk kami sebenarnya cukup sederhana, asalkan sang penjaja makanan menganut asas murah, banyak, enak, dan tahan lama, kita akan makan disana. Tetapi justru disana letak kerumitannya.

Satu catatan jika makan di sekitar Jalan Malioboro yaitu saat para musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu, merintih sendiri, ditelan deru kotamu. Agaknya para musisi jalanan ini percaya bahwa semua pelancong disana punya tangan yang ringan dan menaruh harapan lebih kepada kami dalam berbagi. Kebiasaan memberikan tangan di ibukota bukan menjadi halangan mereka, entah untuk sekedar mengisi waktu atau melangsungkan hidupnya. Bukan kami tidak mau berbagi, namun kadang santapan nusantara tidak melulu harus diiringi dengan musik bukan? Mungkin karena dahulu Ibu Sisca Soewitomo saat memasak pada acara 'Aroma' selalu diiringi musik yang membuat setiap masakannya menarik, diluar fakta bahwa suaranya memang sudah menarik.

Saat menikmati YOGYAKARTA yang luas berakhir hanya di sepanjang Jalan Malioboro. Fakta bahwa kami baru saja selesai berkendara selama dua belas jam dan besok harus kami ulang lagi, bikin nafsu kami untuk menikmati hari di YOGYAKARTA tidak sebesar kota ini. Semua hal yang bisa kami lakukan untuk menikmati kota ini dengan usaha seminimal mungkin kami lakukan. Mendatangkan mereka yang kami kenal dan sedang berada atau selalu ada di Kota ini menjadi pilihan terakhir, atau malah sedari awal rencana perjalanan ini dibuat. Dari Stasiun Tugu hingga Benteng Vredeburg kami jalan, foto, jalan, foto, foto bareng pengamen, (menyamar secara tidak sengaja) menjadi pengemis, dan mendapat kecup hangat dari teman wanita kami. Masih terasa basah sampai sekarang. Memangmia menarik sekali.